|
|
||||
|
/penulis/ Nama Saskia P. Tjokro
/kesukaan/ Pecinta liburan dan seni, terutama menulis dan mendesain. Menggeluti arsitektur sampai muak, sampai akhirnya mendarah daging, menjadi nokturnal akibat terlalu sering begadang, hingga menjadi cinta. Tak bisa jauh-jauh. Mengagumi arsitektur dengan konsep dan konteks, menganggap bangunan adalah wahana dalam mengungkap identitas penggunanya. Sarana ekpresi, selain fungsi. Menganggap bunga sebagai sesuatu yang indah, terutama lily putih. Juga mawar putih. Suka berbicara, suka juga mendengar. Lebih suka pantai daripada gunung, tapi dulu punya masa-masa kegilaan mendaki gunung. Suka nonton di bioskop, apalagi hari Senin. Suka Al Pacino dan Keanu Reeves. Ganteng. Scarface, The Godfather, dan film-film komedi romantis. Suka F.R.I.E.N.D.S. juga. Suka warna merah bata, putih juga suka. tertarik melihat tone bernuansa tanah dan sunset. Suka ditelepon. Suka browsing. Suka musik upbeat yang berasal dari band, suka funk juga. Kalau sudah bertemu musik, susah untuk tidak berjoget. Tertarik dengan warna musik John Mayer dan Jason Mraz. Menggilai Queen. Suka Counting Crows, Save Ferris, dan Jamie Cullum. Sangat suka juga Dito hario Subandono. Favorit. Suka traveling, tertarik dengan hal-hal yang berbau sejarah kuno, terutama sejarah peradaban-peradaban besar masa lalu. Mengagumi Cina sebagai tanah yang usianya sepanjang zaman. Sangat kagum pada junjungan besar Nabi Muhammad SAW, menjadikannya teladan dalam melangkah, walau lebih banyak alpa daripada kesamaannya. Kagum juga dengan Michael Jordan, Leonadro Da Vinci, dan Raden Ajeng Kartini yang tetap menjadi wanita dalam ketegarannya. Penganut Antoni Gaudi, maaf-maaf agak norak, dan kadang bikin kurang pede. Menggilai fashion, punya perhatian terhadap tren, walau bukan maniak merek. Menganggap hidup sebagai petualangan, sering berandai jadi Marcopolo, yang bisa keliling dunia bukan untuk menaklukkan. Lemah dalam menolak tantangan seru, apalagi gila-gilaan. Doyan jet coaster. Suka pesta. Suka soto kudus, tergila-gila buah dan sayuran. Berkebiasaan membaca di toilet. Punya tumpukan koran dan buku di toilet. Menganggap komik sebagai salah satu hasil kebudayaan yang super. Doyan Crayon Shinchan, Nana, dan Trigun. Suka badminton dan berlatih body combat. /tidak:suka/ Benci serangga, benci tikus, takut ikan hiu, dan kaki-kaki udang. Paling bete kalau dibentak. Takut film horor. Tidak suka ruangan sempit, orang-orang rasis dan skeptis, seluruh ras laba-laba, dan house music. Sebel sama lemak yang menggelambir di trisep tangan dan paha. Nggak suka minum alkohol, segelas draft cukup membuat tangan jadi bentol-bentol karena alergi. Yeah, alergi alkohol. Tidak merokok, walau mau nggak mau jadi perokok pasif. Tak tertarik otomotif. Tidak kuat mengkonsumsi monosodium glutamat, bodoh sekali dalam bermain voli. Bodoh bermain bilyar, dan tidak pernah bisa mengerti alasan kenapa Teletubbies bisa mendunia. /daftar:keinginan/ Ingin bisa menyetir walau
tertunda karena takut menabrak. Ingin lulus kuliah dengan nilai baik,
dan punya cita-cita merancang rumah idaman yang di prototipe-kan.
Sedang mengumpulkan kemampuan dan amunisi untuk membuat sebuah
novel
roman, sedang berharap agar naskah-naskah cerita pendeknya matang
dalam pengkaryaan. Berharap buku bergambarnya rampung juga. Begitu
juga dengan proposal skrip. Sedang berusaha keras adar semua orang
yang disayangi mengerti bahwa mereka disayangi. Punya cita-cita
keliling dunia dan menulisnya dalam buku. Ingin punya uang banyak
lalu bikin sekolah baik di mana-mana. Ingin juga
BlackBoxed dapat
lebih banyak kesempatan berkarya, begitu juga Elephant Braindose.
Kangen bertemu sahabat-sahabat lama, ingin juga bertemu kawan-kawan
baru. Ingin membelikan Pak Tjokro (yang gaptek) sebuah notebook, dan
memberi Ibu Lies kejutan manis. Ingin turun 5 kilo. Sedang mencegah
keinginan memotong rambut karena ingin memanjangkan. Ingin
agar doa
yang selama ini dipanjatkannya terkabul.
/kredit/
blogger.com
google.com
www2.cbox.ws
|
/celoteh:jurnal/ Wednesday, April 27, 2005 Have I toldcha before?Daku punya seorang nenek yang umurnya sudah lebih dari 75 tahun. Bukan 'nenek' dalam artian sebenernya, sih. Beliau adalah adik ke 9 dari ibu kandung ibuku. Dengan kata lain, adik dari nenek ibu. Beliau sudah tinggal bersama keluargaku sejak hari pertama aku lahir 18 tahun yang lalu. Dulu beliau masih sehat, istri mantan pembesar di Makaliwe Grogol, dan sangat pandai memasak. Surip, namanya. Diambil dari kata 'Urip' dalam bahasa Jawa yang artinya 'hidup', yang konon diberi nama itu karena saat lahir dulu sempat demam tinggi dan berada di ambang kematian--namun berhasil selamat. Mbah Surip lahir di Solo tanpa pernah benar-benar mampu mengingat wajah kedua orangtuanya. Ayah dan ibunya meninggal sebelum otaknya mampu benar-benar 'mengenal'. Alhasil, Mbah Surip menghabiskan masa remajanya dengan mengabdi pada ibu nenekku, sebagai adik kesayangannya. Sewaktu kecil, Mbah Surip memanggil buyutku itu dengan sebutan 'ibu', karena pada saat itu ia benar-benar mengira bahwa ibu nenekku (Mbah Solo, aku memanggilnya) adalah orang yang melahirkannya. Waktu berjalan, dan Mbah Surip bertambah dewasa. Wajahnya yang manis membuatnya dipinang oleh pak Lurah di Solo, ketika Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Dari suaminya itu beliau mendapatkan dua orang anak yang keduanya tak hidup lebih dari 7 tahun. Ketika akhirnya pak Lurah meninggal, Mbah Surip tak lama menjalani status janda. Wajahnya yang manis dan tata wicaranya yang ayu membuat Pak Kadri, lurah desa tetangga, kepincut jatuh hati. Dari beliau inilah, Mbah Surip melahirkan Pakde No dan Bude Yanti (sekarang keduanya sudah memiliki cucu dari anak2 mereka, dan hidup terpisah dari Mbah). Mbah merantau ke Jakarta dalam rangka mencari nenekku yang kala itu baru saja menikah dengan seorang seniman dari Tanah Padang. Beliau mencari tahu dari Mbah Solo, yang mengatakan bahwa nenekku mungkin membutuhkan bantuan Mbah Surip dalam mengasuh anak-anaknya. Beliau bilang nenekku mungkin tak punya banyak waktu, sebab ia harus syuting (waktu itu nenekku artis *ehem*). Dan benarlah, Mbah Surip seorang diri bersama Pakde No yang kala itu masih 10 tahun mencari nenekku hanya berbekal alamat dan modal nekat. Beliau tak tahu bahwa nenekku sudah pindah rumah mengikuti suaminya, yang membuat Mbah akhirnya 'berpetualang selama 2 minggu lebih menerka-nerka di mana nenekku berada. Bahkan ia sempat menginap seminggu di rumah Mieke Wijaya (yang kebetulan teman dekat nenekku). Tanpa rasa malu. Mbah Surip adalah seorang wanita tegar yang berwatak keras. Bibirnya tajam dan sinis dalam menghadapi bawahan, namun sopan bukan main dalam menghadapi orang yang dituakan olehnya. Figur wanita Solo sejati. Ia amat pintar memasak dan telaten mengurus anak kecil. Mbah juga memiliki fisik yang kuat. Beberapa tahun lalu ia terserang tumor ganas dengan presentase kesembuhan kecil. Atas Kehendak YME, tumor itu hilang setelah Mbah dioperasi. Sehabis dioperasipun, ia kembali meelakukan aktifitasnya semula (padahal kata dokter, orang tua yang bahaya justru pasca operasi, karena antibodinya sudah lemah). Ia tetap bertahan, walau lelaki tercintanya (akhirnya) dipanggil Tuhan dengan penyakit yang sama. Nenekku, mamaku, Omku, aku, dan adik-adikku semuanya dibabysitting oleh Mbah sewaktu kami kecil. Dari beliau masih mampu menggendong karung beras sendirian dari toko, sampai saat ini, ketika badan renta mulai tak mampu mengimbangi semangatnya. Ya, kini Mbah sudah tak mampu berjalan. Sejak sekitar sebulan lalu, tiba-tiba badan gempalnya terserang demam dan secara bertahap menurunkan kemampuan motoriknya hingga saat ini. Memang sih, penurunan kemampuan motorik ini sudah dimulai sejak tiga tahunan lalu--mungkin saat ini adalah puncaknya. Sekarang Mbah sangat bergantung pada semua orang rumah. Aku, adik-adikku, mbak mar dan mbak wasti, juga Tante Veni. Dari memandikan, mengganti popok, menceboki kala buang air besar, menidurkan, menggantikan channel televisi, mengambilkan remote, menyalakan kipas angin, menggantikan baju. Bahkan untuk terduduk dari posisi tidurpun, ia perlu memanggil seseorang. Susahnya, ia punya bobot lebih dari 80 kilogram. Butuh tenaga lebih untuk mengangkatnya. Aku sangat menyayanginya. Beliau adalah ibuku yang kedua. Walau kata-katanya pedas dan sering merepotkan, keberadaan Mbah membuatku sadar bahwa aku tak sendirian. Aku sangat kagum pada semangat hidupnya yang tak pernah padam. Di usia yang sudah terbilang senja, beliau masih memiliki visi untuk masa depan. Ya, masa depan. Beliau masih menabung. Beliau masih selalu mengingatkanku jika waktu kadaluarsa KTPnya habis. Beliau masih melihat masa depan. Kadang aku sering berpikir, apalagi yang sebenarnya ia cari? Orang tua-orang tua seusianya yang kukenal biasanya sudah lebih memandang hidup bak buku yang sebentar lagi ditutup, dan menyenderkan bahu dengan bahagia melihat anak-anaknya telah tumbuh dewasa. Namun, itulah yang membuatku terus berdoa. Aku berharap Mbah dapat kembali berjalan, paling tidak, sehat kembali. Beliau sering kudapati menangis diam-diam dalam kebisuan, sambil memukul-mukul kedua kaki letihnya yang terbujur. Beliau sedih. Mbah menyadari ketidakberdayaan tubuhnya, sementara jiwa dan otaknya masih begitu bersemangat. Jika dalam keadaan itu beliau kudekati dan kupeluk, maka dari bibirnya akan mengalun lirih bahasa-bahasa pertanyaan pada Tuhan yang menjadikannya demikian. Terkadang ia juga memanggil-manggil nama cintanya. Mendiang suami keduanya, Pak Lurah Kadri. ...gue ngga tau kenapa gue nulis ini. Gue cuma pengen bagi-bagi. Pengen cerita. Maaf lama ngga update, lagi ujian tengah semester dan HP baru aja dirampok sama Babi Ngepet berkedok om-om item berwajah mamang. Tapi tenang aja, nomor ngga ganti. SimpatiZone dah ngurus semuanya. (oiya btw, dalam beberapa lama ini gue bakal ngga megang hp dulu, lagi pengen ngehukum diri atas keteledoran--sekaligus nyari pemasukan untuk beli yang baru. So, nomor aye jangan dibuang.) Mood to listen: Temanku Punya Kawan by Iwan Fals SpiritOfTheMind'sDance s a s k i a bercerita saat 10:00 PM ____________________________________________________________________________ |
/pengunjung/
Seperti ini:
desain oleh Saskia@2007 | ||